Oleh: Enjang Idrus, M.Pd.I
Kata nutrisi semua mengenalnya, kaitannya dengan makanan. Kenapa guru mesti ‘mengkonsumsi’ nutrisi. Nutrisi dari makanan membuat sehat, tetapi nutrisi yang selama ini jarang dikonsumsi guru yakni nutrisi bergizi nan dahsyat yang membuat guru hebat, siswa berprestasi, sekolah berkualitas dan pendidikan semakin maju, sehingga bangsa semakinbermartabat.
Apakah nutrisi penting bagi guru?
Guru itu pendidik, pengajar, pelatih bahkan problem solver dalam dunia pendidikan. Untuk menjadi itu semua, guru harus memiliki nutrisi yang bergizi. Nutrisi tersebut selama ini diajarkan, namun jarang diamalkan, kurang disadari, nutrisi dianggap biasa, sebenarnya pembentuk bangsa, selama ini bukan kebiasaan hanya selingan. Nutrisi tersebut belajar untuk mengajar, membaca untuk menulis, dan meneliti untuk kemajuan. Tidak ‘mengkonsumsi’ ini bila guru tidak berkualitas, siswa hanya berkuantitas, sekolah hanya formalitas, dan kehidupanya hanya pas-pasan.
Pertama, Belajar untuk mengajar
Sebelum memaknai pentingnya belajar bagi guru. Kata belajar memang sering didengar, dibacakan dan seterusnya. Apakah hanya sebatas itu? Tentu tidak! Untuk memahaminya, saya mengajak memahami makna hakiki belajar. Kenapa guru harus belajar? Banyak jawaban untuk memanambah wawasan, pengetahuan, meningkatkan keterampilan, mengubah perilaku dan seterusnya. Jawaban ini secara spontan akan terucap ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu. Kenapa semua jawaban setiap orang hampir sama, saya takut jawaban tersebut terdoktrin dari guru-guru terdahulu. Rasululah bersabda,
“Carilah ilmu dari mulai hidup sampai mati” . “Carilah Ilmu sampai ke Negeri China.”
Artinya manusia sebagai makhluk pembelajar. Jadi seorang guru yang benar-benar guru terus belajar, padahal guru itu mengajar hanya mata pelajaran, tetapi kok tidak cerdas, tetapi anak belajar semua pelajaran kok banyak yang cerdas?. Bukan bermaksud menyindir atau merendahkan, realitas ini memang terjadi, tetapi saya berharap bukan anda yang membaca buku ini. Justru dengan membeli dan membaca buku ini menunjukan cinta ilmu dan belajar. Betul kan?
Pengalaman saya pada saat memberikan pelatihan di salah satu sekolah, saya pernah mengungkapkan “Siapakah dari anda yang pernah mempelajari satu buah buku dalam satu tahun selain buku pelajaran?” “Bila ada akan saya berikan uang seratus ribu, deh,” saya sambil tersenyum. Kebetulan ada satu orang mengaku, keluarlah uang sebesar 100 ribu rupiah. Kemudian saya ajukan lagi pertanyaan, siapa yang pernah mempelajari setiap bulan satu buku sampai tuntas?” “Saya beri hadiah 250 ribu rupiah” Tidak ada yang menjawab. Saya lanjutkan lagi pertanyaannya. “Siapa setiap bulannya mengalokasikan anggaran sebesar 500 ribu rupiah untuk membeli buku yang sesuai dengan profesinya? Bila ada, anda saya beri hadiah 1 juta rupiah.” lalu kalau begitu bapak ibu “tunjangan profesi atau sertifikasi bapak ibu, buat apa saja ?. Ternyata tidak ada yang menjawab, semua padam diam, mungkin merasa malu atau mungkin tersinggung. Biarlah mereka malu sendiri dan tersinggung sendiri sehingga tunjangan untuk peningkatan profesi bukan hanya untuk peningkatan konsumsi.
Saya berani mengeluarkan pertanyaan itu karena berdasarkan pengalaman beberapa kali mengisi pelatihan gak ada sama sekali. Terus kalau ada, “Ya Resiko saya untuk bersedekah, kan gak rugi. Sedekah dapat pahala, malah ditambah rezeki oleh Allah SWT.
Baca Juga: Mengapa Filsafat Ilmu Harus Diajarkan
Bagaimana guru bisa membuat pintar siswa, membuat berkualitas pelajaran, membuat jaya sekolah. Dirinya sendiri tidak suka belajar sesuai dengan profesinya ? Wah-wah bahaya ini. Bagaimana kalau sertifikasinya dihapuskan? Ya Janganlah! Kami akan sadar dan taubat mulai saat ini dan akan belajar untuk meningkatkan kualitas. Semoga aminn saut saya!
Guru mau belajar, proses pembelajaran berkualitas dan membawa kebahagiaan dirinya. Mau mengajar oke,, toh sudah dipelajari, sudah ada di kepala (bukan di luar kepala alias di buku he….he…), semua sudah dilahap tinggal dituangkan saja, sudah dipelajari dengan seksama, sehingga belajar membahagiakan. Tidak membahagiakan karena guru mengajar isinya kosong; tidak bahagia mengajar karena selalu lihat buku; tidak bahagia mengajar karena tidak punya gaya mengajar yang cocok; tidak bahagia mengajar karena mengajar tanpa ilmu; tidak bahagia mengajar karena….. karena….. bantu-in dong apa yang membuat mengajar tidak bahagia! Banyak faktornya, namun ini salah satu faktor penting yakni nutrisi bergizi guru itu belajar untuk mengajar.
Guru sering menyuruh siswa untuk belajar sungguh-sungguh, kebayangtuh pelajaran begitu banyak. Anehnya guru sendiri jarang belajar. Ini dapat terlihat ketika guru dalam mengajar selalu menggunakan pendekatan, model, metode dan strategi mengajar yang sama pada materi pelajaran atau malah ketika ditanya tentang pendekatan, model, metode dan strategi mengajar jawabannya pada tidak dapat membedakan. Jangan-jangan gurunya tidak belajar. Ini menunjukan merasa diri sudah pintar, malah justru dengan terus belajar guru meningkat profesionalisme.
Saya yakin, ketika setiap guru satu bulan mempelajari 1 buku sesuai dengan mata pelajaran, dalam satu tahun dua belas buku dalam 10 tahun 120 buku, apa yang akan terjadi? yang terjadi semua guru profesional dan akan terlahir ilmuan-ilmuan dari Indonesia yang akan meraih hadiah nobel. Itu kebanggaan bagi diri sendiri dan bangsa. Iya kan? Anak rajin belajar, guru semakin senang. Guru rajin belajar, anak semakin berprestasi dan menang. Nutrisi yang ada di dalam otak guru tidak hanya itu-itu saja yang diajarkan, namun banyak wawasan keilmuan lain yang tidak tertera di buku paket, buku guru atau buku siswa, sehingga menambah khazanah keilmuan anak. Bahkan anak bersemangat mengikuti pelajaran gurunya karena menemukan hal baru, selain dari buku yang ada.
Baca Juga: Tips Memilih Sekolah untuk Anak dan Orang Tua Agar Lebih Bahagia
Saat kuliah pasca sarjana, Prof. Cecep Sumarna pernah mengatakan,
“Ajarkanlah ilmu pada anak, bukan hanya sekedar pengetahuan.”
Kemudian saya mengajukan pertanyaan, “Bagaimana teknik mengajarkan ilmu pada anak, bukan hanya sekedar pengetahuan?”
“Seorang guru harus banyak belajar. Semua sumber ilmu pengetahuan, bukan hanya buku pegangan saja. Kalau hanya itu tidak akan mampu mengajarkan ilmu, yang akhirnya hanya mengajarkan pengetahuan semata. Bagaimana dia mau mengajarkan ilmu pada anak didik, sedangkan guru sendiri malas untuk belajar dan tidak suka untuk mengkaji ilmu. Guru yang mau belajar akan menemukan ilmu untuk diajarkan pada anak didiknya. Dia akan mampu memberikan ilmu untuk bekal masa depan anak didiknya.” Saya tidak mengajarkan secara langsung cara mengajarkan ilmu, sebelum anda semua melakukan apa yang dibilang tadi. Pada pertemuan selanjutnya akan saya uraiakan tentang hal itu.”
Pertemuan selanjutnya kami membahas, bagaimana cara mengajarkan ilmu, bukan hanya sekedar pengetahuan. Apakah anda ingin tahu? Saya tidak akan menguraikan disini, akan saya kupas secara detail di buku lain dengan judul “Mengajarkan ilmu, bukan mengajarkan pengetahuan” mohon doanya!
Kedua, Membaca untuk Menulis
Guru rajin membaca, seharusnya. Guru rajin belajar wajar. Guru cerdas menulis, ini baru luar biasa! Nutrisi kedua ini jarang sekali diminati guru, kenapa? Banyak alasan dikemukakan. Tanggal 31 Januari 2015 mengisi acara pelatihan menulis untuk guru di Sekolah Dasar Ar-Rahmat Majalengka sebagai Sekolah Rintisan SSN. Dengan memberikan materi “Menulis itu Mudah”. Saya membuat judul tersebut untuk merangsang otak reptil peserta pelatihan supaya terpenuhi konten otak reptil dan bersemangat mengikuti pelatihan.
“Oke. Menulis itu mudah, karena kita melihat, kita mendengar, kita merasakan, karena mengobrol, karena terkena masalah, karena hidup berumah tangga, karena punya anak, karena punya tetangga, karena punya pekerjaan, karena punya saudara dan sahabat, karena punya alat dapur, karena belanja, karena menangis, karena bisa membaca, karena bisa menelaah dan seterusnya. Jadi kenapa masih banyak anggapan menulis itu susah?”
“Pak, di otak itu banyak yang mau dituangkan, tetapi sulit untuk dituliskan.”
“Pak, karena tidak terbiasa menulis.”
“Pak, karena sulit menemukan ide.”
Banyak alasan yang diberikan berkaitan dengan pertanyaan saya itu. Kemudian saya mengajukan pertanyaan tambahan pada guru, “berapa buku yang sudah bapak ibu guru pelajari?” Semua peserta pelatihan pada terdiam.
“Oke, kita sulit menulis karena kita tidak punya nutrisi untuk menulis. Nutrisi untuk menulis itu salah satunya yang sangat penting dari bahan bacaan membaca. Kalau tidak mau membaca, ide sulit dituangkan, gagasan susah di keluarkan, pemikiran susah disampaikan. Jadi deh sulit menulis. Betul apa betul?” “Betul, pak.” Ungkap salah seorang peserta pelatihan, sambil melanjutkan perkataannya, “Iya pak, saya sebagai guru merasakan sulit dalam menulis karena tidak ada nutrisi atau ilmu yang ada di otaknya, isinya hanya mikirin uang saja.” Peserta pada tertawa, mungkin pembaca juga ikut tertawa mendengarkan peserta pelatihan tersebut, atau malah anda sendiri yang melakukannya. He…he…
Baca Juga: Menggali Potensi Keterampilan Menulis di Era Digital : Bagian 1
Membaca merupakan nutrisi guru. Guru tanpa membaca tumpul otaknya, lemah berpikir, ‘mandulnya’ gagasan, dan hancur dunia pendidikan. Apakah mau seperti itu? Mengajar itu-itu saja. Dari mulai awal menjadi guru hanya ngikuti kurikulum yang ditentukan pemerintah saja, dibaca tanpa penambahan ilmu pengetahun dari hasil membaca referensi lain. Walah dalah, aneh guru kok penyakitan karena nutrisi membacanya tidak ‘dikonsumsi’. He…..he….
Nutrisi membaca tidak jadi kebutuhan, mengajar seadanya apa saja yang ada di otak, nutrisi membaca tidak jadi kewajiban, menulis hanya dalam khayalan. Ketika buku ini diterbitkan ini termasuk buku ke 14 yang ditulis (bukan bermaksud membanggakan diri). Kenapa bisa menulis karena mau membaca dan merasa butuh untuk membaca. Hasilnya bukan hanya uang didapat, tetapi ngisi materi jadi biasa, bukan hanya materi yang disajikan, tetapi saudara semakin bertambah, bahkan penghasilan melebihi gaji atau malah berkali-kali lipet dari menulis, apalagi kalau best seller, mudah-mudahan buku ini best seller, bilang Aamiin, sekali lagi Aamiin ya robbal alamin. Dan tambah ajak teman, saudara untuk bersama-sama membeli buku ini, supaya bukan anda saya yang tahu, tetapi memberi tahukan itu ibadah. Jadi deh kita sama-sama beribadah. Benar apa betul?
Guru kekurangan nutrisi membaca, guru akan hina dalam mengajar dan tersiksa dalam menulis. Hina dalam mengajar, karena mengajar hanya itu-itu saja. Tersiksa dalam menulis karena ide sulit dituangkan bahkan di uangkan. “Karena uang tidak menghasilkan ide, tetapi ide hasil bacaan menghasilkan uang“. Semestinya membaca bagi guru itu hobi menyenangkan. Membaca semakin tahu dan memahami ilmu yang menopang profesi serta berbagai hal tentang ilmu pengetahuan terserap. Hasil bacaan bisa ditranfer pada murid dan bisa dijadikan bahan menulis. Menulis tanpa banyak membaca, bagaikan makan tanpa gizi. Artinya makanan tidak memberikan manfaat bagi tubuh. Bila menulis tanpa banyak membaca, menulis akan terasa sulit, susah menuangkan ide, merangkai kata, kalimat menjadi paragraf, apalagi menulis bermakna. Karena bahan dalam otaknya tidak ada yang tersimpan.
Baca Juga: Rancangan Pembelajaran Matematika Pada Konsep Peluang Berbasis Kearifan Lokal Indramayu
Hasil bacaan ibarat bahan mentah tersimpan dalam otak untuk dituangkan dalam wadah karya dan dituliskan penuh makna. Sehingga memberikan manfaat bagi dunia. Dunia anak dan sekolah secara sempit, dunia pendidikan secara luas dan bertebaran gagasan mengisi media untuk perubahan. Ulama (guru) terdahulu bisa terus mengajar melalui karya, sebut saja Imam Al-Ghazali dengan Ihya Ulummudin, Imam Syafi’i dengan Al-Umm, Sayid Qutub dengan Tafsir Al-Qur’an, Ibnu Khaldum dengan Mukodimah, Sayid Sabiq dengan Fiqih Sunah, Napolion Hill dengan Grow Rich, Aristoteles dengan Filsafat, Ibnu Sina dengan ilmu kedokteran, Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azhar. Mereka telah tiada, tetapi melalui karyanya mereka terus mengajar dan mengajar sehingga ilmunya bermanfaat. Dan balasanya bernilai shodaqohjariah. Bukankan itu amalan yang terus mengalir pada alam kubur setalah meninggal? Itu hadits nabi loh, bukan kata saya. Apakah kita tidak mau memiliki amal jariah yang terus mengalir? Kita awali dengan menulis, dengan karya yang ditulis walaupun sudah tiada. Ilmu terus dibaca orang, dipelajari dan diamalkan sesama, sehingga mampu memberikan ilmu bermanfaat untuk sesama dan memberikan perubadahan peradaban.
Ketiga, Meneliti untuk Kemajuan
Meneliti bagi guru, masih dianggap barang aneh. Dari jutaan guru di Inonesia, bisa dihitung yang sering melakukan penelitian. Penelitian sebagai salah satu penelaahan terhadap suatu fenomena yang terjadi di sekolah. Sebagai kepala sekolah melakukan Penelitian Tindakan Sekolah dan guru melakukan Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian Tindakan Sekolah mengkaji permasalahan di sekolah, sedangkan penelitian tindakan kelas kaitannya langsung dengan proses pembelajaran didalam kelas. Penelitian sebagai sarana untuk mengkaji, menganalisis, memperbaiki dan mengevaluasi proses pendidikan dan pembelajaran. Hasil penelitian sebagai bahan kebijakan sekolah dan bahan perbaikan guru dalam meningkatkan pembelajaran untuk kemajuan pendidikan minimal di sekolahnya.
Nutrisi guru salah satunya penelitian, semakin mampu meneliti semakin hebat mengabdi dan semakin maju sebuah sekolah, imbasnya kemajuan pendidikan keseluruhan. Lemah kemampuan guru lemah pula kualitas pembelajaran dan sekolah. Bukti nyata banyak guru yang tidak mampu melakukan penelitian dan membuat karya nyata yang menopang profesi. Ketika kenaikan tingkat banyak mengeluh karena lemahnya kemampuan meneliti. Sehingga hal ini dimanfaatkan oleh biro jasa yang mengetahui hal tersebut, ya kalau biro jasanya benar sesuai prosedur akan ada bukti yang jelas sesuai peraturan, bagaimana kalau biro jasanya hanya untuk mencari uang belaka. Ya uang melayang, dikejar ke instansi kedinasan tidak ada, baru deh kalau sudah begitu merasakan kalau penelitian itu penting untuk menopang karir dirinya. Bukan melakukan refleksi diri, malah cenderung menyalahkan orang lain. Padahal diri sendirinya tidak bisa menghasilkan produk nyata.
Kalau sudah seperti itu baru menyadari dan mau belajar dengan tergopoh-gopoh. Tapi biarlah itu terjadi dari pada tidak mau belajar sama sekali tentang penelitian, sehingga suatu saat mampu meneliti, minimalnya di kelasnya melalui Penelitian Tindakan Kelas. Menurut hemat penulis, penelitian tindakan kelas sebagai penelitian yang sangat simpel dan tidak menjelimet ketimbang penelitian lain, misalnya skripsi dan Tesis. Karena masalah yang dikaji merupakan masalah keseharian dalam pembelajaran dan tidak memerlukan waktu secara khusus, bisa dilakukan selama proses pembelajaran.
Kemampuan guru dituntut meneliti, sebagai cara untuk meningkatkan kemajuan pembelajaran, sebagai solusi atas masalah yang dihadapi dalam proses pembelajaran, sebagai strategi dalam memajukan pembelajaran, sebagai wahana kajian ilmiah untuk berpikir konvergen dan divergen, sebagai referensi untuk teman sejawat dalam penelitian lanjutan.
Baca Juga: Enjang Idrus; Manajemen Diri menjadi Kunci, Etika Berorganisasi sebagai Filosofi
Di Finlandia guru sebagai peneliti, bahkan bila guru tidak mampu meneliti, maka diragukan keguruannya. Hasilnya saat ini peringkat pendidikan Finlandia sebagai salah satu pendidikan terbaik di dunia. Saat ini pemerintah membuat peraturan yang akan menopang hal tersebut dengan diberlakukannya pemenuhan pengembangan profesi dan pengembangan diri (didalamnya meneliti, membuat karya tulis dan karya nyata) ketika mau mengajukan Kenaikan Tingkat Ke IIIC dan seterusnya. Ini merupakan angin segar, sehingga guru “dipaksa” untuk bisa meneliti. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat menopang kemajuan proses dan kualitas pembelajaran, di samping menopang karir guru sendiri. Jadi penelitian itu nutrisi sangat penting bagi guru, karena hasil penelitian diduga kuat menjadi pembangkit kemajuan pendidikan di negeri yang kita cintai ini.