Jadilah bagian dari keluarga besar Universitas Sindang Kasih Majalengka! Daftar sekarang dan wujudkan mimpimu!

Belajar dari Syekh Hatim Al-‘Asham

Oleh, Muaz, M.Pd.

Pada abad ketiga Hijriyah tersebut nama seorang ulama besar bernama Syekh Hatim bin Ulwan Al-Asham di daerah Khurasan. Ia menjadi rujukan dan tempat bertanya masyarakat di zamannya baik laki-laki maupun perempuan. Ia dipilih oleh masyarakat karena ketinggian ilmu dan keluhuran pekertinya.

Syekh Hatim bin Ulwan mewakafkan dirinya untuk masyarakat. Pintu rumahnya terbuka kapan saja, untuk masalah apa saja, dan bagi siapa saja tanpa memandang kelas sosial, jenis kelamin, dan usia masyarakat. Pengabdian ini ia jalani selama puluhan tahun tanpa pamrih.

BACA JUGA: Orang Munafik Jualbelikan Petunjuk dengan Kesesatan

Pada suatu ketika seorang perempuan mendatangi Syekh Hatim bin Ulwan untuk berkonsultasi atas problematika yang sedang dia hadapi. Diawali dengan basa-basi pembukaan, perempuan ini menceritakan kronologi permasalahannya panjang lebar.Namun, di saat itu ia merasakan keganjilan dalam perutnya. Angin panas dari dalam tubuhnya mendesak-desak untuk keluar.Ia ingin kentut. Dengan sekuat tenaga ia menahannya agar tidak keluar di hadapan seorang ulama besar yang disegani masyarakatnya. Alhamdulillahia berhasil meredakan gejolak itu.Ia meneruskan cerita dengan sedikit gelisah. Ia kemudian menjelaskan masalah seperlunya. Karena kehilangan konsentrasi, ia mengakhiri ceritanya dengan sebuah pertanyaan. Tetapi malang, suara kentut dari duburnya terdengar persis di ujung kalimat pertanyaan. Angin panas itu nyeplos.Wajahnya merah karena malu.Ia kehilangan muka. Semua sikapnya menjadi salah. Mau sekali rasanya ia mati di tempat. Ia merasa telah menghina ulama besar yang dihormati penduduk seisi Khurasan di hadapannya. Ia memastikan Syekh Hatim bin Ulwan mendengar suara kentut tersebut. Ia menunggu cemas kalimat yang keluar dari Syekh Hatim bin Ulwan.

Adapun Syekh Hatim bin Ulwan yang sejak awal mendengarkan perempuan itu sambil mengusap-usap dagunya sempat terkejut. Tetapi ia berhasil menjaga sikap seolah tidak terjadi apa pun. Ia yakin tamunya tidak melakukan hal tidak sopan itu dengan niat dan sengaja.Ia tahu persis perempuan di hadapannya merasa bersalah hebat. Ia berpikir keras untuk mengembalikan harga diri tamunya. Ia tidak sampai hati membiarkan tamunya pulang dengan rasa bersalah secara moral. Segera saja terpikir olehnya untuk bersikap sebagai seorang tua yang kurang pendengaran.Ia meminta tamunya untuk mengulang pertanyaan tersebut. Ia memperlihatkan diri sebagai seorang tua yang tuli di hadapan tamunya.

BACA JUGA: Menutupi Sebuah Kebenaran Termasuk Sifat Orang Kafir

فقال حاتم ارفعي صوتك

Artinya, “’Bisa diulang lebih keras,’ kata Hatim bin Ulwan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qami‘ut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 22).

Kalimat permintaan dari Syekh Hatim bin Ulwan itu melegakan pikirannya. Mengetahui tuan rumah kurang pendengaran karena tuanya, betapa puas hatinya. Kepercayaan dirinya datang kembali.Ia yakin Syekh Hatim bin Ulwan juga tidak mendengar kentutnya. Ia kemudian mengulangi pertanyaannya.

Sejak saat itu Syekh Abu Abdirrahman Hatim bin Ulwan yang wafat pada tahun 237 H dijuluki Syekh Hatim bin Ulwan Al-Asham atau Syekh Hatim Al-Asham. Secara harfiah Syekh Hatim Al-Asham berarti Syekh Hatim yang tuli.Semua ini dilakukannya dalam rangka menjaga kehormatan tamunya agar tidak kehilangan muka sebagaimana dikisahkan oleh Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq yang dikutip oleh Syekh M Nawawi Banten sebagai bentuk bukti keimanan seorang Muslim.

Semangat menutup aib sesama Muslim dan penghormatan terhadap tetangga didasarkan pada sabda terkenal Rasulullah SAW, “Siapa saja yang (mengaku) beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia memuliakan tetangganya.

BACA JUGA: STKIP Yasika Majalengka Wujudkan Program Pendidikan Epektif Efisien Bagi Kaum Milenial

Kalau kita sadari keadaan zaman sekarang ini, sangat kontras dengan apa yang dicontohkan oleh Syekh Hatim Al-‘Ashom. Dengan adanya kecanggihan teknologi begitu massifnya terjadi fitnah, ghibah, membuka aib orang lain atau menyebarkan berita bohong (hoax) antar teman atau orang lain yang mengakibatkan perkelahian dan permusuhan. Padahal bagi kita sebagai seorang muslim sudah diberikan peringatan oleh Rasulallah saw dalam sebuah sabdanya, “Seorang Muslim sejati adalah orang yang membuat muslim lainnya selamat dari lisan/ucapan dan tangannya”.

Semoga kita semua bisa belajar dari kisah Hatim Al-‘Ashom dengan berupaya ketika melihat keburukan/kekurangan orang lain baik kita melihat langsung atau melalui cerita orang lain wajib kita tutupi. Tetapi kalau kita melihat kebaikan seseorang, baiknya itu diceritakan ke orang lain agar siapapun dapat mengambil hikmah dari kebaikan itu.

Ketika kita menjadi karyawan di lembaga manapun, isilah hari-hari kita dengan hal-hal yang produktif dan hindarkan aktifitas yang sia-sia. Saling bekerjasama, kritik konstruktif terbangun dengan baik, maka kesuksesan sebuah lembaga akan diraih dalam waktu yang cepat. Tidak lupa pula bijaklah dalam bermedsos, jangan sampai kita menjadi orang yang menjadi pemicu konflik yang tidak produktif. Wallahu ‘alambisshawab.

==========================================================

** Penulis adalah Ketua Lembaga Penjamin Mutu STKIP Yasika Majalengka.

Leave A Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Oleh: Enjang Idrus, M.Pd.I. Pendahuluan Diberlakukannya Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 berimbas pada peningkatan profesionalisme  pendidik...
Oleh: Rosi Gasanti, M.Pd Abstrak Penelitian ini berjudul Métode Démonstrasi dalam Meningkatkan Kemampuan Siswa Bercerita Fabel (Studi Kuasi Eksperimen pada...
Bendera menunjukan keluhuran sebuah bangsa, karena sebagai  simbol cita-cita luhur bangsa. Bendera  sebagai pemersatu bangsa, bendera menunjukan jati diri  bangsa,...