Kehidupan kita sebagai manusia akhir-akhir ini dihadapkan dengan berbagai pertentangan yang luar biasa. Hiruk pikuk kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya bahkan agama sekalipun yang merupakan ciri dasar kebesaran bangsa kita, dibuat seakan menjadi “sempit”, dibuat seakan-akan tak berdaya. Padahal sila kesatu dari falsafah bangsa ini sangatlah jelas yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Mungkin ini merupakan bukti nyata dampak dari globalisasi ekonomi dunia yang melahirkan konflik politik ekonomi global, melalui berbagai organisasi yang telah disepakati dunia untuk memudahkan berbagai hal agar satu bangsa dengan bangsa lainnya dapat saling beradaptasi untuk berpartisipasi, bahu membahu, mensejahterakan hingga ingin memperoleh derajat kesejajaran dengan negara-negara lain didunia.
Kepemimpinan sebagai pusat pengendali diberbagai lini, diharapkan mampu menjadi corong utama untuk membangun kesejahteraan masyarakat yang adil dan beradab demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Harapan ideal seakan-akan semakin jauh dari kenyataan. Peran “antagonis”, “Garang”, “galak”, hingga “gaya merakyat” (blusukan) untuk meraih simpati masyarakat terus digalakan dan dianggap sebagian masyarakat merupakan upaya ‘pencitraan’ belaka.
Respon masyarakat terhadap cara kepemimpinan, dan gaya-gaya pengambilan keputusan, serta manajemen konflik yang terjadi dinilai ambigu. Penilaian terhadap kebijakan dan regulasi, serta penegakan hukum dianggap tak dapat memberikan kepastian. Akankah hal ini menjadi bukti nyata atas lahirnya konflik didalam lini dan sendi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia, seakan-akan menjadi “liar” dan sulit diarahkan. Atau mungkinkah semua itu sengaja diciptakan oleh bangsa dan kelompok tertentu untuk membuat kegaduhan di negeri ini.
Baca Juga: Bagaimana Mengubah Nestapa agar Menjadi Bahagia ?
Solusi nyata untuk menyikapi berbagai pelanggaran hukum diharapkan dapat ditegakkan melalui hukum yang seadil-adilnya tanpa pandang bulu. Sayangnya upaya tersebut direspon sebagian masyarakat bahwa fenomena penegakan hukum masih dianggap tebang pilih alias ‘tajam kebawah tumpul keatas’ bagaimana rasa keadilan dapat diwujudkan di negeri ini agar masyarakat merasa terpenuhi dengan semua unsur rasa keadilannya (keadilan hukum, ekonomi, sosial, politik bahkan agama). Prinsip dasar penegakan hukum yang adil dan beradab ditegakkan agar dikemudian hari tidak ada yang mengulanginya lagi.
Dalam situasi yang komplek ini, selain penegakkan hukum, tentu kita memerlukan refleksi bersama, agar ada kesepahaman dan kesadaran bersama untuk memetik hikmah dari setiap kejadian dinegeri tercinta ini. Bagaimana kecerdasan spiritual bangsa Indonesia dapat ditumbuhkan kembali hingga pilar-pilar kebangsan yang dilandasi Pancasila, UUD 1945, Bhineka tunggal ika serta NKRI dapat diwujudkan dan dijalankan sesuai nilai-nilai luhur para pendiri bangsa dengan sebenar-benarnya dan se-adil-adilnya.
Berbicara soal kecerdasan spiritual sebagai anugerah dasar ketuhanan yang melekat dalam diri kita menjadi keniscayaan. Karena itulah letak kesempurnaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Apabila kecerdasan spiritual ini difungsikan dalam diri kita, insyaallah kita semua akan mampu memahami atas segala fenomena yang terjadi dalam berbagai kehidupan ekonomi, sosial secara mendalam, dan tentu akan lebih memberikan kepastian atas segalanya. Karena melalui kecerdasan spiritual ini pula kita akan mampu mengetahui setiap kejadian dengan mengambil pelajaran dan hikmahnya. Melalui kecerdasan ini pulalah, segenap pemimpin dan segenap bangsa Indonesia akan menjadi lebih ber-adab, dan semua insan menjadi lebih bijak dalam merespon berbagai situasi dan kondisi yang terjadi di era digital ini.
Baca Juga: HIV-AIDS Bukan Semata-mata Penyakit Seksual !
Kecerdasan spiritual tentu tidak hanya dipahami sebagai sebuah “dogma agama”. Melainkan suatu kemampuan dasar kita sebagai bangsa dan negara yang ber-aneka ragam, dengan kemampuan kita dalam meberikan makna secara empiris dan rasional atas apa yang bangsa kita jalani dan tentu pula atas apa yang bangsa kita alami (sejak bangsa ini dibentuk, dan dimerdekakan hingga sekarang), dengan segala potensi yang dimilikinya secara ber-peradaban dan ber-keadilan.
Melalui sila kesatu itulah segenap bangsa Indonesia dapat memberikan makna terdalam melalui berbagai macam keyakinan yang berketuhanan. Bentuk dan wujud nyata dari kecerdasan ini, kita akan mampu menumbuhkan kecintaan kita terhadap alam semesta sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus terus kita lestarikan. Kecerdasan ini juga akan mampu menumbuhkan kecintaan manusia atas diri dan sesamanya, bahkan secara total akan menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bangsa dan negaranya secara utuh dan total.
Bangsa yang dilandasi dengan sikap Ketuhaan, akan memancarkan sikap moral yang luhur dalam segenap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebermaknaan semangat dan atau spirit kecerdasan spiritual didalam ketuhanan tidak akan pernah menempatkan materi, jabatan dan status sosial sebagai pusat kebermaknaan. Kalau hal itu yang diukur, maka pasti akan mudah hancur dan atau dihancurkan.
Mengapa demikian, karena kebermaknaan meteri duniawi semuanya birsifat semu atau bersifat fana (tidak kekal/ tidak abadi). Oleh karena nilai keabadian hanya berada pada pusat nilai ketuhanan yang tercermin dalam kebermaknaan spiritualitas kita dan segenap bangsa kita. Kebermaknaan spiritualitas ini insyaalloh akan mampu melatakan segala sesuatu atas dasar nilai-nilai ketuhanan yang akan dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya yaitu Tuhan yang Maha Esa.
Baca Juga: Menggali Potensi Keterampilan Menulis di Era Digital : Bagian 1
Inilah barangkali sekelumit tentang sejatinya makna yang dengan jelas diatur dan diarahkan serta diajarkan oleh agama yang tercermin dalam sila kesatu kita. Mari kita semua dapat menjadikan segenap aktifitas kita dalam setiap sumbu kehidupan, menjadikan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sumber keber-maknaan dan akan menghantarkan terwujudnya kedaulatan yang sejati demi memperoleh kedamaian dan kesejahteraan rakyat yang sejati pula, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wallahu A’lam Bishsawab.